Hari ini 1 September 2014 adalah perayaan 75 tahun pecahnya Perang Dunia II. Saat itu perang terbesar dalam sejarah manusia itu pecah setelah militer Jerman menyerbu Polandia. Selain menandai sebuah konflik bersenjata baru di dunia, serangan Jerman ke Polandia juga memperlihatkan kepada dunia sebuah taktik militer baru yang belum pernah dipraktikkan di masa itu. Pada Perang Dunia I (1914-1918), merupakan teater sebuah perang statis berupa perang parit. Para prajurit bertahan di parit-parit pertahanan dan berusaha merebut parit lawannya. Untuk merebut parit lawan para prajurit harus melintasi “tanah tak bertuan” dan saat itulah mereka menjadi sasaran empuk senapan mesin lawan. Korban yang jatuh bisa mencapai ribuan orang dalam sekali gelombang serangan. Nah, 1 September 1939, Jerman memamerkan taktik perang yang sama sekali baru yang disebut Blitzkrieg atau Perang Kilat. Dalam blitzkrieg,
tidak dikenal adanya pertahanan statis berupa parit atau benteng. Pertahanan terbaik dalam strategi ini adalah gabungan pasukan yang terus bergerak saat melakukan serangan. Tentu saja serangan seperti ini membutuhkan mesin-mesin perang yang terus bergerak, pesawat tempur yang menguasai udara serta pasukan infantri besar yang terus bermanuver. Serangan semacam ini akan membuat musuh terkejut, kesulitan berkordinasi sehingga mudah dipojokkan. Inilah yang membuat pasukan Jerman saat itu dengan mudah menggilas Polandia. Sukses menggilas Polandia, dengan taktik yang sama Jerman menghancurkan Belgia, Belanda dan Perancis pada 1940. Blitzkrieg juga digunakan jenderal legendaris Erwin Rommel saat berperang di Afrika. Heinz Guderian Jerman mulai mengembangkan taktik perang kilat ini antara 1918-1939 demi menghindari kebuntuan seperti yang terjadi pada Perang Dunia II. Strategi blitzkrieg ini sangat tergantung keberaan unit-unit tank ringan yang didukung pesawat tempur dan infantri. Dasar taktiknya adalah doktrin “Schlieffen Plan” yang diuraikan Panglima Militer Kekaisaran Jerman Alfred von Schliefen, yang intinya adalah taktik perang yang bertujuan mencapai kemenangan dengan cepat. Doktrin ini kemudian dikembangkan oleh seorang perwira angkatan darat Jerman, Heinz Guderian yang yakin teknologi modern seperti pesawat pengebom dan tank akan meningkatkan kemampuan manuver militer Jerman. Seperti sudah disinggung di atas, taktik blitzkrieg Jerman ini memang sangat mengejutkan. Setelah menghancurkan Polandia. Jerman mengalihkan pasukannya ke Eropa barat. Pada 10 Mei 1940, Jerman mengalihkan pasukannya ke Perancis,
Belgia dan Belanda. Perancis saat itu tak hanya didukung militer yang cukup kuat namun juga memiliki jaringan benteng Maginot Line sepanjang perbatasannya dengan Jerman. Namun, sekali lagi Jerman dengan taktik blitzkriegnya bisa menerobos Maginot Line, yang sebelumnya diklaim tak bisa ditembus, dan langsung merangsek ke wilayah Perancis. Dan hanya dalam waktu satu bulan tepatnya 14 Juni 1940 pasukan Jerman sudah menduduki Paris yang disusul perjanjian gencatan senjata antara Perancis dan Jerman pada 22 Juni 1940. Nasib Belgia dan Belanda tak jauh berbeda dengan Perancis. Kedua negara ini tak kuasa menahan laju blitzkrieg Jerman. Perancis, Belanda dan Belgia menjadi jajahan Jerman hingga dibebaskan sekutu pada 1944. Akhir dari blitzkrieg Sayangnya, sesempurna apapun sebuah strategi pasti terdapat kelemahan. Dan kelemahan blitzkrieg tak diketahui hingga Jerman mencanangkan perang melawan Uni Soviet. Pada 1941, Jerman menggelar Operasi Barbarossa untuk menginvasi Uni Soviet. Pada awalnya strategi blitzkrieg sukses dan nyaris menghancurkan angkatan bersenjata Beruang Merah. Pesawat-pesawat bom tukik Stuka menghancurkan pangkalan-pangkaan udara Uni Soviet. Sementara pasukan tank Jerman yang dahsyat dengan mudah mengepung dan menghancurkan divisi-divisi tank Uni Soviet. Dalam hari ke-17 Operasi Barbarossa, Jerman menawan 300.000 prajurit Rusia, sementara 2.500 tank, 1.400 senjata artileri dan 250 pesawat terbang hancur atau dirampas. Di mata banyak orang
Rusia sudah di ambang kekalahan dan Moskwa nampaknya ditakdirkan jatuh ke tangan Jerman. Sayangnya, di tengah gerak maju itu pemimpin Nazi Adolf Hitler memiliki pemikiran lain. Dia memerintahkan Divisi Panser Tengah yang dipimpin Heinz Guderian bergerak untuk merebut Kiev.
Guderian yang sebenarnya marah atas perintah Hitler ini, tak kuasa menolak dan sebagai seorang prajurit profesional dia menjalankan perintah atasannya. Namun, terbukti perintah Hitler itu menjadi sebuah blunder. Pertempuran ternyata tak berakhir cepat dan masih berlangsung hingga musim dingin Rusia yang kejam datang. Mesin-mesin perang Jerman terjebak dalam lumpur musim dingin Rusia, sementara akibat terlalu yakin bisa memenangkan perang dengan cepat, pasukan Jerman tak dibekali pakaian musim dingin yang layak. Akibatnya, ratusan ribu tentara Jerman tewas bukan akibat peluru Uni Soviet namun karena hantaman musim dingin. Dan, strategi perang kilat Jerman yang begitu menggetarkan di awal perang, takluk oleh alam Rusia dan kesalahan perhitungan Adolf Hitler.